Tukang Tambal Ban Lulusan S2

Kota Boja adalah kota Kecamatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Kota yang berhawa segar itu dapat dilalui dari kota Semarang ke arah selatan kira-kira 25 kilometer.

Di jalan Pemuda, kira-kira 1 kilometer sesudah masuk kota Semarang, di sebelah kanan jalan terdapat tukang tambal ban bernama Kadiyono. Lapak tambal bannya hanya bedeng sederhana di pinggir jalan. Di depan yang terlihat sebuah kompresor tua.

Sepintas tak ada yang istimewa dari sosok tambal ban berbadan bogel dan rambut acak-acakan. Ia menggunakan kaos lusuh. Namun setelah ngobrol panjang lebar baru terlihat hal yang berbeda dari tukang tambal ban itu.

Bapak tiga anak ini ternyata adalah lulusan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo. Sebelumnya, ia memperoleh gelar sarjana Strata-1 dari sekolah tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.
Saat ini pun ia tergolong selaku tutor di Universitas Terbuka Semarang. “aku dari kecil sudah jadi tukang tambal ban, membantu ayah," kata Kadiyono.

Ia mengaku, usaha tambal ban inilah yang membuatnya dapat bersekolah hingga S2. "aku  kuliah 100 persen, biayanya dari kerja tambal ban," katanya.

"Walau kuliah aku di STIK pernah terputus, namun akhirnya lulus sesudah 11 tahun dari tahun 1990-2001,” ujar Kadiyono sambil menerawang.

Kadiyono mengisahkan pahitnya berjuang di bangku perguruan tinggi. Ia harus membagi waktu antara menambal ban dan kuliah. Apalagi jarak rumahnya dan kampus STIK kira-kira 35 kilometer, Berarti setiap hari ia harus menempuh jarak pulang pergi 70 km. Saat itu ia menyimpan motor bentley tua, yang menemaninya ke kampus. Meski biaya pas-pas an, ia bertekad ingin mengubah nasib agar makin baik.

Meski dan modal semangat baja, ia sempat pontang-panting dalam menikah. Penghasilannnya harus dipecah memerankan dua, antara kuliah dan rumah tangga.

Menjadi menambal ban pendapatannya hanya kira-kira Rp 50 ribu tiap hari dalam mempersiapkannya limbung. Ia akhirnya menetapkan untuk cuti kuliah dulu selama beberapa tahun.
Sesudah merasa keuangannya membaik pada 2000 ia melanjutkan kuliah. Ia berkeputusan wisuda pada 2001, sesudah 11 tahun. Kadiyono tukang tambal ban resmi sarjana.

Usai berkeputusan meraih gelar sarjana, ia ingin kuliah S2, namun biaya tak ada. Impiannya itu dipendam sambil menjadi guru di SD Muhamadiyah Boja. Keberuntungan rupanya berpihak padanya, ia mendapat tunjangan sertifikasi guru selama 2 tahun sebesar Rp 17 juta.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, demikian kata pepatah. Dana itu ia gunakan untuk kuliah S2 di UMS kelas karyawan, yang masuk hari sabtu-minggu.

Di sela-sela kuliah, ia diminta memerankan kepala sekolah SLB Surya di Limbangan, Boja. Meski bayaran tak seberapa, hanya Rp 300-400 ribu, ia menjalani dengan ikhlas.

”Mengajar anak-anak yang autis, tuna netra, down syndrome, tuna daksa, grahita, tuna wicara, tuna rungu wajar sabar. Aku anggap mereka anak sendiri. Aku kadang terharu  menangis memaklumi penderitaan mereka,” katanya, lirih.

Kini gelar sarjana S2 telah digenggam, Kadiyono masih menyimpan impian melanjutkan ke jenjang makin tinggi, yakni doktor. namun ia terbentur biaya kuliah yang mahal.

“aku sudah coba mencari beasiswa tapi belum berhasil. Aku juga telah mencoba mendaftar menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi tapi ditolak alasannya menjadi usia sudah 46 tahun,” ujarnya.
Sumber : viva.co.id

Share this post